Menanggapi PSBB: Efektif atau Enggak?

Sudah hampir 2 bulan sejak Jakarta diberlakukan PSBB. Bagi yang belum tahu, PSBB adalah kepanjangan dari Pembatasan Sosial Berskala Besar. Bisa dibilang PSBB adalah versi lockdown longgar dan fleksibel. Karena masih membolehkan masyarakat untuk beraktifitas seperti bekerja di beberapa sektor tertentu dan penjual makanan/minuman.

Aturan PSBB

Sebelum kita bereaksi tentang efektif atau tidaknya PSBB yang diberlakukan pemerintah, kita review sedikit aturan dari PSBB ini. Pada dasarnya PSBB dikenakan bagi warga yang mengalami zona merah covid-19 atas kurangnya kesadaran sosial di masyarakat tersebut. Walaupun tidak men-general-isir secara keseluruhan, namun sebagian besar demikian.

Namun ada beberapa sektor tertentu yang termasuk dalam pengecualian PSBB. Termasuk diantaranya sektor kesehatan, komunikasi dan teknologi, logistik, makanan, dan lainnya. Silakan googling sendiri lebih detailnya.

Mulanya, PSBB hanya diberlakukan di Jakarta saja, yang notabene daerah zona merah dengan persebaran dan korban meninggal paling banyak di Indonesia. Namun seiring berjalannya waktu, karena Jakarta di himpit oleh beberapa wilayah seperti BoDeTaBek, akhirnya PSBB mulai diberlakukan juga selisih beberapa hari setelah Jakarta di 4 daerah tersebut.

Hasil PSBB

Sesuai ekspektasi, pemberlakuan PSBB dalam kurun waktu 1 minggu ternyata membuahkan hasil. Karena terlihat grafik persebaran terbukti dapat ditekan secara optimal dan progressnya sangat bagus. Ada sedikit lonjakan yaitu di hari sabtu minggu, dimana warga melakukan aktivitas. Namun PSBB 2 minggu ternyata terbukti menekan angka penyebaran covid-19.

Efektif atau Tidak?

Berbicara secara efektif atau tidaknya tergantung darimana kita melihat sudut pandangnya. Dari sudut pandang pemerintah, tentu saja hasilnya cukup memuaskan, karena angka penyebaran terbukti dapat ditekan signifikan. Dari sisi masyarakat, ada pro dan kontra.

Masyarakat pro tentu saja turut serta dengan senang mengikuti aturan dari pemerintah demi kebaikan bersama. Bagi masyarakat yang kontra, hal ini berbanding terbalik dengan visi misi dari pemerintah. Karena faktanya, tidak semua masyarakat bisa menerima aturan PSBB ini. Apalagi harus diam di rumah?

Jakarta dikenal sebagai kota metropolitan dan seluruh masyarakat dari penjuru Indonesia berkumpul di Jakarta. Sebagian besar masyarakat yang tinggal di Jakarta biasanya menghabiskan waktu di luar rumah. Entah itu pekerja formal, maupun pekerja nonformal. Dengan adanya PSBB tentu sangat sulit untuk menerimanya. Apalagi jika ia adalah seorang pedagang non pengecualian yang disebutkan oleh pemerintah, namun harus mencari uang di saat pandemi covid-19.

Kawasan Padat Penduduk

Jika di lihat, pesan dari pemerintah memang sebagian besar dimengerti dan visi misinya tersampaikan ke sebagian besar masyarakat. Namun kenyataan berbanding terbalik di kawasan padat penduduk di kota besar seperti Jakarta.

Masih banyak yang menyepelekan bahaya dari pandemi covid-19 ini dan terkesan masih cuek dengan aturan yang ada dari pemerintah. Dari hasil pemantauan, kebanyakan yang masih terkesan menyeleweng adalah masyarakat dengan rentan usia 16-25 tahun. Mereka dominan melakukan kegiatan nongkrong bareng yang sepertinya sangat sulit untuk diubah.

Angka rentan usia tersebut terbilang kecil dan tidak mempengaruhi peta persebaran covid-19. Memang benar, tapi media pernah mewartakan bahwa anak muda cenderung kuat terhadap virus covid-19 dan peran utama yang saat ini terjadi adalah anak muda sebagai carrier pembawa covid-19. Lantas, apakah masih relevan kita harus memperhatikan angka ini?

Peran Satpol PP dan RT RW

Dalam hal bersosial, peran serta dari satpol pp dan RT RW sangat penting dalam imbauan covid-19 ini. Agar #tetapdirumah adalah imbauan yang secara umum akan diberitahukan. RT RW tidak bosan-bosan memberikan imbauan, tapi balik lagi. Apakah individu masyarakat itu sendiri sudah cukup disiplin dan aware dengan bahaya covid-19 ini?

Jika RT RW sudah mengimbau namun masyarakat masih bandel saja bebas semaunya tetap di luar rumah tanpa alasan yang mendesak, lalu kemana warga lain yang menjadi saksi bisa melapor? Di sini terlihat perlunya manajemen kontrol ke pelosok kawasan penduduk padat, entah itu dari satpol pp, kepolisian atau pun mungkin dari TNI.

Justru pesan yang seharusnya kita sampaikan adalah para masyarakat yang masih rendah kesadarannya, bukan menjaga di wilayah yang kesadaran warganya sudah tinggi. Karena untuk kawasan padat penduduk, cenderung kesadaran masih rendah.

Bagaimana Menurutmu?

Dengan kondisi dan keadaan yang demikian saya sampaikan, bagaimana tanggapanmu? Masih mau meniru atau ikut kampanyekan dan bereaksi agar #tetapdirumah?

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *